Seandainya Saya TKW !

Malam yang tidak begitu panas menyambut kedatangan saya di Abu Dhabi. Satu lagi persinggahan sebelum akhirnya sampai di Jakarta. Kalau ada yang bilang Timur Tengah itu indah, saya sungguh setuju. Negara-negara Arab ini sungguh berlimpah harta. Dari atas, warna warni lampu kota, seakan menggoda saya untuk tinggal barang semalam di kota ini. Yah, memang saya akan menghabiskan satu malam di kota ini tapi sayangnya hanya di bandara (lagi). Sungguh, jika saja ada uang berlebih, ingin rasanya menapaki sudut-sudut di salah satu kota utama di Uni Emirat Arab ini.

Jika shopping adalah embel-embel yang ditawarkan negara-negara UAE, tidak saya pungkiri. Puluhan gerai brand kenamaan dunia, baik fashion, makanan ataupun otomotif berjejer di Internasional Lounge Terminal 1 bandar udara ini. Saya tentu saja tidak tergiur dengan benda-benda mahal (lha wong buat beli makan aja nge-pas) dan hanya membeli sebotol air minum dan dua kantong coklat lokal 1 kg + 1/2 kilo gratis (karena beli dua gratis 1) untuk oleh-oleh.

Berhubung lapar ditambah rasa mual dan masuk angin dari Roma, saya memutuskan untuk makan malam sebelum lanjut terbang. Berbagai jenis masakan mulai dari asia hingga western terhampar di deretan konter di area foodcourt bandara ini. Senangnya tidak usah khawatir memilih-milih makanan mana yang halal karena semua menu tentu saja halal. Sekarang hanya perlu memilih mana yang sesuai dengan isi dompet. Nah, itu yang susah.

Pengisi perut di Abu Dhabi

Akhirnya pilihan jatuh pada nasi biriyani dan fillet ikan goreng tepung. Paling murah (kalau di-euro-kan sekitar 8 euro) dan banyak porsinya. Tapi, saya pikir kalau beli nasi dan lauk akan diberi extra saus atau kuah. Ternyata tidak. Bahkan saus pun dikenakan biaya. Alhasil, seret!

Setelah makan, saya mencoba menggunakan free internet service untuk mengabari keluarga. Tapi lagi-lagi ada banyak orang yang juga mau mengabari keluarganya dan setiap saya mengintip layar di depan mereka, lagi-lagi yang dibuka adalah situs jejaring sosial, facebook. Hebat Zuckerberg! Kamu sudah menggantikan sendi-sendi komunikasi dalam hidup manusia.

Karena penerbangan saya masih sekitar enam jam lagi, saya belum bisa masuk ke ruang tunggu. Badan mulai minta diajak istirahat, dan saya langsung menuju prayer room. Baiklah, memang dilarang tidur di mesjid atau musholla tapi hey, dimana lagi tempat paling asyik dan tenang buat nunggu, selain musholla? Ya, Abu Dhabi tidak punya Quiet Room seperti Doha, Qatar yang fungsinya untuk tidur bagi para penumpang yang menunggu penerbangan atau bermalam di airport.

Setelah menunaikan sholat isya. Saya tertidur sebentar. Tak lama lima orang wanita memakai mukena masuk. Mereka berbicara dengan bahasa yang saya kenal, bahasa jawa! Ini dia yang saya tidak sabar saya ceritakan.

Sebenarnya sejak saya mendarat, banyak terlihat wajah-wajah familiar: melayu. Rata-rata memakai jilbab, hanya ada satu identitas: muslim. Kalau nggak Indonesia, pasti Malaysia. Satu lagi embel-embel yang melekat adalah TKW (tenaga kerja wanita).

Saya belum sadar berapa banyak TKW yang ada di negara ini, sampai tiba saatnya untuk boarding. Saya terkejut ketika melihat antrian di depan gerbang didominasi oleh rekan senegara saya. Melongok ke dalam ruang tunggu, hampir 90 persen adalah orang Indonesia. Semua bicara dengan bahasa daerah masing-masing.

Ketika dalam antrian, seorang wanita setengah baya namun berpakaian necis, bergincu merah dengan rambut disemir blonde layaknya anak muda, berseru kencang memanggil temannya sambil sesekali diselingi dengan gelak tawa yang menggema di seluruh ruangan. Wanita lainnya berseru kencang-kencang mencari rekannya yang entah sudah naik duluan atau ketinggalan. Di dalam pesawat, mereka tidak henti membuat mas2 pramugara kerepotan. Ada yang panik mencari tempat duduk, ada yang nggak bisa meletakkan barang bawaan. Untung ada mas pramugara (ganteng!) yang siap siaga membantu. Sungguh, inilah Indonesia, batin saya geli sambil menahan tawa melihat perilaku mereka. Namun kagum, betapa tangguhnya mereka bisa ada dan bertahan di negeri orang demi mencari penghidupan yang layak.

Ah, andai saya tidak terlampau mandiri ketika meletakkan ransel, mas pramugara ganteng itu pasti mau membantu saya.  Ah, seandainya saya TKW (lhoh?!)

4 thoughts on “Seandainya Saya TKW !

Leave a comment