One Year Ago

Note: Postingan berikut akan dibuat berseri. Menceritakan perjalanan saya ke Jepang tepat setahun yang lalu. Untuk membacanya, harap set tanggalan anda, mundur ke tahun 2009. Hehehe.

11 Maret 2009: The Arrival

Saya melihat pemandangan di bawah saya. Kelap kelip lampu menambah indah kota yang sudah menjadi impian saya sejak berumur 14 tahun. Tokyo. Di bawah sana Tokyo, wit!, batin saya. Sudah hampir pukul setengah tujuh malam waktu setempat ketika saya membuka mata. Rupanya, suara sang pramugari dalam bahasa inggris dengan logat kental Chinese-nyalah yang telah membangunkan saya. Saya tertidur selama kurang lebih lima jam sejak pesawat ini take off dari bandara internasional Beijing menuju Narita.

Ketika terbangun dan memandangi kota yang gemerlap di bawah sana. Saya tidak pernah berpikir akan seperti apa kunjungan saya selama tiga minggu di negara ini. Saya, wanita. Pertama kali dalam hidupnya pergi ke luar negeri, ke negara asing. Sendiri. Tidak ada teman ataupun kenalan (satu-satunya kenalan saya adalah neechan Imelda dan saat ini beliau sedang liburan di Jakarta dan baru akan kembali tanggal 15 Maret nanti) dan “dia”, yang notabene baru akan saya temui secara langsung nanti.

Jalan keluar pesawat, saya memegang pasport berikut tiket. Keluar dari “belalai penyambung”, saya mendapati penduduk kota ini yang pertama: seorang laki-laki petugas bandara yang jerawatan dan dua orang wanita yang menyambut kedatangan para tamu. Saya beranikan bertanya pada mereka, kemana saya harus pergi selanjutnya. Si petugas berjerawat berkata dengan bahasa inggris yang lumayan bahwa jika saya pergi lurus mengikuti koridor, maka saya akan sampai di imigrasi.

Koridor Tak berujung

Jam menunjukkan pukul tujuh, namun suasana koridor ini sungguh sepi senyap. Di depan saya tidak ada siapapun. Hanya ada ban berjalan dan toilet di sebelah kiri. Koridor ini bagaikan tak berujung dan rasanya saya tidak akan pernah sampai. Sementara jantung ini berdegup kencang memikirkan bagaimana saya harus menghadapi petugas imigrasi. Karena saya diwanti-wanti agar tidak berbuat gegabah atau mencurigakan.

Akhirnya saya sampai di eskalator. Di bawah sana adalah bagian imigrasi. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa suasana ruang imigrasi karena sekali lagi saya belum pernah pergi ke luar negeri. Ruang imigrasi di beijing dan Xianmen kota transit pertama, jauh berbeda. Yang ada di bayangan saya, ya, yang pasti antrian turis. Saya menuruni eskalator itu dan kemudian mendapati ruang imigrasi itu sepi. Terdapat loket-loket dan tempat mengantri persis seperti di bank, zig zag. Melihat saya kebingungan, seorang laki-laki tua bermasker memanggil saya, sambil membukakan pembatas antrian. Maksudnya agar saya langsung berjalan ke depan, tidak usah mengikuti antrian kosong.

Dia menunjukkan kartu kedatangan, mungkin maksudnya apa saya sudah mengisi. Saya bilang saya belum mendapatkannya. Dia dengan baik hati menyobekkan lembaran dari buku yang ada di sakunya (ada puluhan lembaran di sakunya tersebut. Keramahan kedua yang saya dapat begitu sampai di negara ini.

Saya berjalan mendekati loket imigrasi. Petugas imigrasi mengajak saya mengobrol sembari memeriksa paspor saya.

“First time in Japan?

“Yes”

“What are you going to do”

“Just sight seeing, travelling”

“Where are you going to stay?”

“At my friend house in Morioka”

“You’re friend speak Japanese?”

“Well, since he was born here, I think he speaks fluently”

“You’re friend is a Japanese?”

“Yes”

“Could you write his name here?” (sambil menunjuk kartu kedatangan saya)

“How much cash money do you bring”

“16.000 yen”

“but you had credit card do you?” (menatap curiga)

“Yes”

Saya kemudian diminta meletakan sidik jari dan wajah menghadap ke kamera kecil. Prosedur bagi siapa pun yang datang ke negara ini.

“Well, okay, enjoy your stay” kata petugas tersebut seraya mengembalikan pasport saya yang sudah diberi tanda ijin tinggal.

Legaaa! \(^^)/ Walaupun petugas imigrasi itu masih muda dan ehm! Ganteng♥, tidak saya pungkiri saya tetap berdebar-debar ketika menjawab pertanyaan demi pertanyaan. Seperti ujian atau bermain kuis!

Bertemu dengan Penjemput

Setelah mengambil koper, saya menuruni lagi sebuah escalator menuju ke area arrival. Dalam bayangan saya, aka nada banyak orang berkerumun di pintu kedatangan, membawa papan nama orang-orang yang akan mereka jemput. Tapi ternyata dugaan saya salah. Di depan pintu kedatangan tidak ada orang membawa papan nama, bahkan tidak ada orang yang berkerumun sama sekali. Hati saya lemas. Oh tidak, dia sudah mempermainkan saya. Saya tidak dijemput. Hal pertama yang melintas adalah mati saya!

Setelah lama cilengukan, akhirnya saya mendengar seseorang memanggil nama saya. Suara yang sudah sering saya dengar lewat voice chat. Ketika berbalik, disitulah saya mendapati pemilik suara tersebut, berdiri terhalang pembatas untuk menjemput. Berkaus hitam, berjaket hitam dengan pinggiran tudung berbulu, bercelana jeans dan sepatu kanvas berwarna…ungu?! Hati saya geli ketika melihatnya. Tapi dia sungguh… oh saya benci harus mengakui ini… dia terlihat keren sekali! ♥ Dia nyata. Bukan hanya sebuah wajah di  layar komputer yang tersendat-sendat.

Dia membawa sebuah tas besar dan dorongan. Dia bilang dia membawakan saya jaket, syal dan sarung tangan untuk saya. Terkejut? Iya, karena saya memang tidak membawa jaket apapun kecuali si hijau lumut yang melekat pada badan saya, dan saya tidak pernah meminta dia untuk membawakan jaket.

First impression: good ♥

Kami berjalan menuju kereta yang akan membawa kami kea rah Ueno, karena besok pagi kami berencana untuk pergi ke kuil Asakusa. Kami turun di Ueno dan berjalan ke ameyokocho untuk mencari makan. Jam menunjukkan pukul 8 malam dan suasana sudah sepi senyap. Oh inikah Tokyo? Kok beda dengan yang saya lihat di film-film ya?, batin saya.

Ameyokocho adalah sebuah pasar tradisional. Ada begitu banyak toko-toko menjual berbagai macam benda dan makanan. Kami berkeliling mencari restoran yang buka. Saya kembali mengingatkan dia bahwa saya makan apa saja kecuali babi dan alkohol. Kami melewati sebuah kedai Kebab, dimana kedua laki-laki penjual berwajah arabnya melontarkan kata-kata yang saya kenal “Kebab, kebab, mari, mari”.

Saya tersenyum pada mereka. Dia bertanya, mereka ngomong apa?. “Mari” artinya come, come, mereka tahu saya orang Indonesia. Saya ingin kebab sebenarnya, tapi tampaknya dia ragu. Akhirnya saya biarkan dia yang memilih. Kami tiba di sebuah restoran kecil. Saya tidak tahu nama restorannya. Kami masuk dan duduk. Ketika melihat menu, dia terlihat bingung. Lalu bertanya pada pelayan “apakah di sini daging babi semua?”, pelayan itu menjawab “ya”.

Makanan pertama di Jepang, sayang sudah habis hehe

Dia meminta maaf kepada saya karena tampaknya tidak ada yang bisa saya makan kecuali lobak dan tahu. Baiklah tidak masalah, kata saya. Tidak terlalu lapar juga, batin saya. Saya hanya memesan ocha dan dia bir. Setelah bercakap-cakap dan menghabiskan lobak yang rasanya aneh itu, kami pergi melanjutkan perjalanan ke tempat menginap (saya lupa nama daerahnya).

Mencari penginapan

Perjalanan menuju tempat beristirahat ini juga tidaklah mudah. Kami harus naik turun tangga penyebrangan, dan karena dia bukan orang Tokyo, maka kami sedikit tersesat. Bangunan yang kami cari sudah tampak, namun jalan menuju bangunan itu yang tidak tampak.

Saya berkata, telepon saja orang penginapan, minta diberitahu arahnya. Dia ngotot, ah terlalu gampang. o_O; Oh hello, ini sudah jam 10 dan udara semakin menusuk tulang, dan kamu masih mau berpetualang? *sigh*

Akhirnya setelah berputar-putar, kami berhenti di depan sebuah supermarket dan dia memutuskan untuk menelepon orang penginapan (akhirnya!). Tidak lama seorang pemuda muncul tidak jauh dari tempat kami berdiri. Ternyata kami sudah dekat. Oh syukurlaaaaah! Rasanya mau pingsan!

Malam itu saya tidak bisa memikirkan hal lain selain tempat tidur, selimut dan tentu saja besok.

Selamat tidur!

Postingan berikutnya adalah tentang kunjungan ke Asakusa! Dan tentu saja: nyasar! ~>_<~

4 thoughts on “One Year Ago

  1. Pasti badan lw udh kreteg kretek yakkk jam 10 itu.. haahahha!
    Masa ga enak daikon tul..?? oden daikon nya enak booo.. nyammm

    • gw sih cm pegel jalan doang, nah dia, nggotong2 koper gw yg segede gaban & berat itu naek turun tangga penyebrangan & eki, mik! o_O; gk kebayang dah

      Aneh ah daikon-nya, maklum lidahnya msh jetlag blm nyesuain hehehe

  2. waaaw… bikin deg”an neh bacanya, hehehe… ^_^ pengalaman pergi sendirian juga pernah yo alamin, tapi gak jauh seh, cuma ke Bali doangan. Tapi, berhubung baru pertama kalinya pergi jauh sendirian, jadi agak aneh ajah, biasanya di pesawat ada adek” yg bisa dijitakin, hihihi…

    • klo ke bali masih bisa telp n minta tolong sodara setanah aer, nah klo di sini, mau minta tolong siapa. Salah2 nti malah paspor diperiksa, hyaaa hahahha obat klo pergi jauh sendirian: tidur! 😀

Leave a comment