Berpindah

Saya baru tertidur dua jam ketika kami “diusir” dari terminal 1. Rupanya, terminal ini tidak buka 24 jam. Alhasil, kami semua yang menunggu di dalam terpaksa pindah ke terminal 3. Dorong troli lagi, batin saya. Sudah pukul 12 malam ketika saya harus mendorong lebih jauh ke pintu utama terminal 3, karena pintu-pintu masuk lainnya sudah tidak beroperasi, alias tutup, dan hanya pintu utama saja yang dibuka. Terminal 3 tidak terlalu ramai seperti tadi sore. Orang-orang yang tersisa adalah mereka yang menunggu penerbangan pagi hari seperti saya.

Di sana sini terlihat orang – orang berkerumun. Ada yang mengobrol, atau menonton film di laptop mereka untuk membunuh waktu. Di tempat-tempat strategis dimana rata-rata terdapat colokan listrik, orang – orang sudah terlelap dibungkus selimut beralas kepala barang-barang mereka. saya mencoba kembali ke tempat duduk tempat saya dan Han tadi menunggu. Ternyata sudah ditempati orang. Sial, batin saya.

Karena tidak ada tempat lagi, akhirnya saya memutuskan untuk tidur tanpa alas di lorong antara loket- loket cek in. Dinginnya pendingin ruangan tidak tertahankan, alhasil saya terbangun dengan perut mulas .

Dorong lagi. Masuk kamar mandi, cuci muka dan siap2 kembali ke terminal 1.

Dorong lagi keluar terminal 3. Sampai di depan terminal 1, masih gelap. Belum buka. Mulas lagi.

Dorong lagi menuju terminal 3. Karena kapok dan nggak yakin dengan sakit perut ini. Saya memutuskan untuk menunggu di Terminal 3 sampai bisa berdamai dengan perut saya yang bergemuruh ini. Saya positif masuk angin.

Setelah gemuruh lumayan mereda, saya kembali mendorong troli menuju terminal 1. Entah kenapa, setiap mendorong troli ini saya teringat pada pemulung-pemulung yang hobi mengumpulkan barang dengan troli supermarket. Kenapa saya jadi mirip pemulung ya? Hahaha

Sampai di terminal satu, antrian di loket cek in penerbangan saya sudah lumayan panjang. Kira-kira 45 menit saya harus mengantri sebelum akhirnya mendapatkan boarding pass. Selanjutnya, Security Check. Aman. Selanjutnya adalah bagian kesukaan saya, duduk di lounge mengamati orang lalu lalang sambil sesekali menengok ke arah luar tempat pesawat-pesawat itu diparkir. Burung besi raksasa yang sudah ratusan bahkan ribuan kali melintasi angkasa, membawa ribuan bahkan jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia berpindah dari satu tempat ke tempat lain di berbagai belahan dunia. Betapa hebatnya Wright Bersaudara, batin saya yang langsung saya koreksi dengan “betapa hebatnya Sang Pencipta si Wright bersaudara itu”.

Betapa manusia adalah mahluk yang diciptakan dengan kapasitas otak paling besar sehingga mampu menciptakan teknologi sedemikian hebatnya. Dan kembali saya tercenung di lobi tunggu ini. teringat pada tulisan saya mengenai kematian. Jika boleh dianalogikan tentang dunia ini layaknya lobi tunggu tempat saya duduk termenung saat ini. Manusia datang dan pergi di lobi ini. Mereka duduk menunggu pesawat mereka, giliran mereka. Mereka mungkin seperti saya, menunggu pesawat untuk pulang. Sebagian lagi mungkin menunggu untuk berpindah ke tempat lain.

Beberapa orang mungkin akan menyebut saya sinis atau pesimis jika berbicara tentang kematian. Namun, tidak ada hal yang lebih pasti di dunia ini selain kematian. Hal yang letaknya lebih dekat daripada urat nadi terdekat kita. Sering saya berpikir, bagaimana saya akan mati nanti, ya? Dengan cara apa? Kematian sama misteriusnya dengan Cinta. Namun Pasti seperti pastinya bus yang datang mengangkut saya ketika tersesat di Morioka.

Panggilan untuk penerbangan ke Munich terdengar melalui speaker di sekeliling saya. Layar monitor di gerbang penerbangan berganti menjadi penerbangan berikutnya, tanda bahwa pesawat saya sudah mulai boarding. Satu per satu orang mengantri dan petugas mulai menyobeki tiket mereka.

Baiklah, saatnya berpindah ke Munich. Arrivederci, Italia. Sampai ketemu dua bulan lagi.

Leave a comment